Selasa, 08 Juni 2010

Konstitusi di Amerika, Afrika, dan Uni Eropa [Luar Negeri]
Konstitusi di Amerika, Afrika, dan Uni Eropa

BANYAK pengamat melihat terjadinya angin perubahan di berbagai negara terhadap konstitusi mereka, yang disebut sebagai perubahan konstitusi gelombang ketiga. Di Asia, dimulai dari Filipina di tahun 1986 dan kemudian beberapa negara lain seperti Taiwan, Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia; juga di sepanjang tahun 1990-an. Di Afrika, dimulai dari Mozambik dan Namibia pada periode tahun 1990 dan dilanjutkan dengan Zambia, Lesotho, Malawi, Afrika Selatan, hingga ke Uganda.
Perubahan konstitusi gelombang pertama dimulai ketika hukum dasar pertama yang diterapkan di negara berkembang, di saat kebanyakan negara dikuasai oleh kekuatan kolonialisme. Gelombang kedua, konstitusi yang lahir ketika negara jajahan merebut kemerdekaannya dan menyusun konstitusinya sendiri, dengan ciri khas bahwa proses pembentukan konstitusi itu dilakukan oleh kalangan elite politik saja yang sebagiannya mempunyai latar belakang pendidikan dari Eropa, sehingga pikiran yang berkembang didalam penyusunan konstitusi banyak dipengaruhi dengan pengetahuan dan perkembangan politik yang terjadi pada masa itu.
Sementara, gelombang ketiga perubahan konstitusi terjadi karena adanya tuntutan yang kian menguat, karena kekuasaan di bawah penguasa baru nasionalis atau kemudian bisa disebut sebagai rezim otoritarian, didasarkan atas jenis konstitusi gelombang kedua itu, ternyata tidak mampu mengakomodasi kepentingan rakyat secara maksimal. Perubahan ini bisa jadi bagian dari proses pembentukan moralitas dan legitimasi baru bagi penguasa baru. Tentu saja, acapkali terjadi suatu kecenderungan, para penguasa baru itu selalu saja ingin mendapatkan mandat yang begitu eksesif untuk mengontrol kekuasaannya dan meminimalisasi kontrol atas kewenangan-kewenangannya.
Sejumlah pengamat kemudian menyebut contoh Zambia dan Zimbabwe dimana kekuasaan melakukan upaya penguatan kekuasaannya dalam konstitusi maupun pembentukan komisi konstitusi.
Namun begitu, apa yang tengah terjadi di Turki mungkin sebuah pengecualian, yang justru telah memasuki upaya perubahan konstitusi gelombang keempat? Para ahli masih memperdebatkannya, di tengah keinginan besar untuk mengubah konstitusi menuju sebuah pembalikan kepada konstitusi gelombang kedua atau penemuan ulang arah ideologi negara? Perubahan konstitusi ini juga bersamaan waktunya dengan trend pembentukan konstitusi bersama di Uni Eropa (yang hingga kini belum sukses terutama akibat penentangan di Perancis dan Belanda), dan juga ASEAN?
Dalam konteks Uni Eropa, terjadi trend yang sangat menarik perhatian yaitu bagaimanakah sebuah konstitusi dapat diberlakukan bersama untuk mengikat sejumlah kumpulan negara sekaligus? Perdebatan yang hangat apakah rumusan konstitusi Uni Eropa itu nantinya akan lebih tinggi dari konstitusi yang dimiliki negara-negara Uni Eropa, meskipun hingga sejauh ini banyak pihak merasa pesimistik. Gagalnya ratifikasi konstitusi seperti telah digagalkan masyarakat Perancis dan Belanda, dikhawatirkan menjadi efek domino kepada berbagai negara lain di Eropa. Dengan gagalnya implementasi Konstitusi UE, Eropa akan menjalankan kesehariannya berdasarkan Traktat Nice 2001 yang memang memiliki mekanisme untuk mengatur fungsi blok yang beranggotakan 25 negara ini.
Gagalnya ratifikasi konstitusi juga akan berdampak terhadap konsep reformasi ekonomi UE yang sebetulnya sudah lama terbelah. Inggris dan Polandia, misalnya, lebih condong pada ekonomi yang lebih liberal, sedangkan kubu Jerman-Perancis menginginkan sistem ekonomi yang terintegrasi dan lebih mementingkan konsep jaminan sosial.
Pengalaman Uni Eropa ini, dalam pandangan Ketua MK RI Jimly Asshiddiqie, perlu dipelajari untuk ASEAN Charter, misalnya. Sebab, menurut Jimmly, bentuk hubungan di antara negara ASEAN baru sebatas nota kesepahaman (MoU). Ini sangat lemah (landasan hukumnya), kata dia. Pembentukan ASEAN Charter, kata Jimmly, dimaksudkan sebagai deklarasi pernyataan keinginan kerjasama yang lebih kuat dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial. Tapi, lanjut dia, belum menjadi kesepakatan konstitusi.
***
DI Amerika Serikat, setidaknya konstitusi negara ini sudah mengalami 27 kali amandemen (amandemen XXVII tahun 1992). Sepuluh amandemen pertama, yang dikenal sebagai Piagam Hak-hak Asasi, diratifikasi pada 1791. Amandemen XI dilakukan tahun 1795 yang menetapkan bahwa kekuasaan yudikatif Amerika Serikat tidak akan diartikan untuk mencakup setiap tuntutan hukum atau keadilan, yang dilancarkan atau ditujukan terhadap salah satu negara bagian dari Amerika Serikat oleh warga negara bagian lain, atau oleh warga atau kaula negara asing mana pun.
Tuntutan amandemen konstitusi AS muncul akibat persoalan ekonomi dan negara bagian yang ditandai dengan tuntutan lebih besar kepada pusat. Keresahan yang terjadi menjadi salah satu penyebab munculnya beberapa pemberontakan. Salah satu pemberontakan tersebut dipimpin oleh Daniel Shays yang memimpin para petani untuk menduduki pengadilan negara bagian Massachusetts, yang telah banyak menjatuhkan hukuman bagi para petani yang tidak dapat membayar utang.
Pemberontakan seperti yang dilakukan oleh Shays telah mengarahkan pertanyaan kepada batas kekuasaan antara negara bagian dengan pusat. Apakah pusat memiliki kekuasaan yang cukup untuk mencampuri urusan negara bagian. Menurut George Washington, Artikel Konfederasi perlu untuk ditinjau kembali karena hubungan antar-negara bagian seperti seutas tali dari pasir. Untuk bidang-bidang penting seperti pertahanan, anggaran belanja, dan perdagangan; pemerintah pusat tidak dapat mencampuri tindakan negara bagian.
Untuk mengatasi kekhawatiran tersebut dan mempertahankan kemerdekaan Amerika Serikat, pada Februari 1787, Kongres Kontinental mengeluarkan imbauan kepada seluruh negara bagian agar mengirimkan delegasi ke Philadelphia untuk merevisi Artikel Konfederasi. Pertemuan ini diberi nama Konvensi Konstitusi yang mulai bersidang pada 25 Mei 1787. Sebenarnya mereka hanya mempunyai wewenang untuk mengubah pasal-pasal tersebut, namun ke-55 utusan sepakat untuk menyingkirkan artikel tersebut dan menyusun sebuah piagam baru. Ini merupakan bukti bahwa Artikel Konfederasi sudah tidak mendapatkan kepercayaan dari negara bagian. Sebuah pemerintahan yang terpusat dianggap sebagai hal yang paling diperlukan.
Pada pertemuan itu juga disepakati adanya tiga cabang dari pemerintahan yang baru. Ketiga cabang tersebut adalah legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Masing-masing cabang mempunyai kekuasaan sendiri sehingga ketiganya akan bersifat seimbang. Perbedaan pendapat yang penting muncul dalam pembahasan pemilihan wakil dalam bidang legislatif. Negara bagian yang besar mengusulkan agar diterapkan sistem pemilihan proporsional untuk legislatif. Rhode Island, sebagai negara bagian dengan jumlah penduduk yang sedikit, menentang hal tersebut. Apabila sistem tersebut diterapkan, maka mereka sama sekali tidak akan mempunyai perwakilan. Berdasarkan usulan Rhode Island tersebut maka disepakati adanya dua majelis dalam legislatif. Setiap negara bagian akan mempunyai dua wakil dalam Senat dan wakil hasil pemilihan proporsional di majelis yang lain.
Setiap negara bagian akan mempunyai dua wakil dalam Senat dan wakil hasil pemilihan proporsional di majelis yang lain.(jones sirait/dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar: